Entah apa yang menjadi keyakinannya berjualan jenang nantinya akan dicari pelanggan. Lebih dari enam belas tahun profesi dagang jenang ditekuninya sejak ia mengendong tenggok berisi panci jenang sumsum berkeliling dari rumah ke kampung. Bukan perkara mudah menanak bahan beras dan bahan lain menjadi bubur. Berulang kali dicobanya memasak beras, tapi yang jadi justru bubur bayi, bukan bubur sumsum seperti yang dikehendakinya.
Lebih dari sebulan ia mencoba resep masakan cara membuat berbagai macam bubur, dari bahan berbeda, pelan-pelan akhirnya ketemu juga cara menanak bubur sumsum dan berbagai macam jenis bubur lain. “Sejak saat itu, saya bertekad menjadi penjual jenang dan ider dari kampung ke kampung,” tutur Sri Lestari, ditemui di tempat pangkalannya di depan Rs Brayat Minulyo, kota Solo
Tidak mudah memulai bisnis kaki-lima –menggunakan gerobak dorong– di suatu tempat. Selain banyak masalah penertiban, juga agak sulit mendorong dari rumahnya berada jauh dari tempat mangkal sekarang. Meski demikian, tekadnya menekuni jualan bubur, tetap ditekuninya sejak tahun 1993.
Dia mengaku takut berganti jualan menggunakan tenggok berkeliling jadi memakai gerobak dorong, selain tidak ada modal juga berat dorang-dorong. Itulah sebabnya, dia tetap ider jalan kaki dari kampung di sekitar rumah sakit. Baru kemudian ada yang menawari jualan di warung belakang rumah sakit.
“Kalau dipikir ada benarnya. Setelah harga bubur satu porsi di atas Rp.500, saya nekat menerima tawaran jual di warung belakang rumah sakit,” ujar dia, “dari harga Rp.100 mubeng, lama-lama kesel juga. Sedikit sedikit saya celengi bikin gerobak. Akhirnya seperti saat ini pakai gerobak. Dan pindah ke depan.”
Keuletan Sri Lestari, 62, menekuni berjualan bubur, tak bisa dikatakan dhatnyeng. Meski pergantian cuaca hujan-panas, dia tetap berusaha bangun dini hari memasak berbagai jenis bubur dan menjualnya setelah pukul 10 siang hari. Pelanggannya bukan hanya pasien yang sedang dirawat di rumah sakit dan keluarga pasien, tetapi warga lain menyempatkan datang hanya untuk membeli bubur, seperti Mardiyati, 43, dari Sragen.
“Saya memang penggemar bubur depan rumah sakit ini, setelah belanja di Pasar Gede, disempat-sempatke beli bubur,” katanya sembari menambahkan, “kalau belum beli bubur rasanya tidak marem ke Solo.”
Tidak percuma pergulatan Sri Lestari menekuni berjualan bubur dari tahun ke tahun di seputaran rumah sakit. Ia merasa yakin dengan tetap tekun jual jenang berbagai rasa dan jenis, kemungkinan akan dicari pelanggan yang berobat ke rumah sakit. Bukan hanya pasien tujuannya berjualan jenang, tetapi kerabat para pasien yang membezuk jadi incaran penjualan buat sarapan. Meski demikian, ia tetap mujekke (baca mendoakan) pasien yang mondok di rumah sakit segera pulang ke rumah masing-masing dan terkenang jualannya.
“Intinya kami mujekke biar pasien cepat sembuh dan kamar yang tempat dirawat gantian dipakai orang lain. Kalau seprti itu’kan bagus. Ada yang datang jajan jenang, dan inget kalau pas ke Solo, ingin cobain jenang lagi,” ujar dia
Menurut penelusuran jurnalis sarklewer.com setidaknya lebih dari 6 tempat pelbagai jenis jenang. Entah apa sebabnya Pemerintah Kota (Pemkot) Solo juga menggelar agenda festival jenang saban tahun. Hampir setiap kelurahan warga ambil bagian dan ikut berpartisipasi memasak pelbagai macam jenis bubur dan digelar festival jenang Solo.
“Festifal Jenang Solo pada dasarnya mengingatkan pada warga, bukan hanya nasi yang setiap hari kita makan, tetapi ada jenis lain dan memiliki sejarah di masa lalu. Ada jenang merah putih, dan jenis lain. Itu kan jenis warisan budaya yang harus dilestarikan,” ujar Walikota Solo, FX Hadi Rudyatmo, dalam sambutan pada Festival Jenang ke-10 tahun 2019 lalu, “sejak lahir kita sudah dikenalkan dengan jenang, ada jenang sumsum. Kita kalau sakit’kan juga makan bubur.”
No Comment