Bunyi Sepatu Tentara Buatan Sadinoe, Memang Lain


Sejak awal produksi hingga saat ini Sadinoe memproduksi sepatu tentara

Tidak ada yang berani mengukur kaki presiden Soeharto, sebelum jenderal sekaligus panglima besar Tentara Nasional Indonesia (TNI) meninggal dunia, kecuali hanya Sadinoe. Apalagi setelah Soeharto menjabat sebagai presiden RI selama 32 tahun. Namun di tangan Sadinoe, kaki bekas Pandam IV Diponegoro “disenteni” dengan teliti agar pola sepatu yang akan dikenakan pas dan enak dipakai. Sejak itulah sepatu yang dibuatnya moncer ke berbagai kalangan pejabat, di era 1960 hingga 1980-an.

Sepanjang karirnya, menjadi seorang pembuat dan sekaligus pedagang sepatu, pengalaman itulah yang sering diceritakan pendiri ‘pabrik’ sepatu legendaris CV Sadinoe kepada delapan anak-anaknya. Setiap kali bercerita, ujar anak keempat Bambang, pengalaman paling berkesan pertama kali diceritakan Sadinoe mengukur kaki Soeharto. “Itu yang sering bapak ceritakan pada putra-putrinya,” ujar dia.

Tidak hanya kaki Soeharto yang pernah di ukur secara hati-hati Sadinoe, sepasang kaki presiden pertama Bung Karno dan Jenderal Sudirman juga pernah dilakukan. Ketiga kaki orang terkemuka Indonesia itu, setidaknya pernah dijamah oleh tangan Sadinoe sang legenda pembuat sepatu jungle alias lars tentara.

Meski pabrik pembuat sepatu dinasti Sadinoe tak beranjak dari peralatan peninggalan masa lalu, toh sudah ratusan ribu pasang sepatu dipakai tentara dan polisi di seluruh Indonesia. Selain kekuatan sepatu buatan Sadinoe tak tersalip oleh buatan pabrik sepatu modern yang dibuat kodian, para karyawannya menyadari betul amanat sang pelopor.

“Meski kami masih mengandalkan mesin peninggalan bapak waktu pertama kali berproduksi, tapi jangan kaget sepatu buatan kami bisa bertahan hingga 2-3 tahun dan tak mungkin disalip kwalitasnya,” ujar YB Sarwoko, 76 tahun, di ruang pamer di Jl Sahardjo, Pringgading, Solo.

Amanat sang pelopor sepatu Sadinoe wajib diteruskan penerusnya (courtesy dok pribadi keluarga – Jez

Tidak hanya kualitas kulit yang harus diperhatikan seluruh karyawan, ujar Sarwoko menirukan pesan Sadinoe, tetapi kecermatan memilih bahan dan mengerjakannya pun harus dengan kecintaan. Itulah sebabnya, Sarwoko kerasan bekerja menegakkan trademark sepatu sejak ia masih berusia remaja. “Kalau bisa hingga saya selesai. Sampai saya tidak lagi bisa berbuat sesuatu untuk mewujudkan keinginan Pak Sadinoe, biar sepatu buatan kami tidak diremehkan,” tutur Sarwoko.

Tak bisa dipungkiri, kepiawaian Sadinoe mendekat mempromosikan handmade sepatu buatannya hingga diminati kalangan tentara dan kepolisian negara, karena kedekatannya dengan para petinggi negara. Salah satu sepatu buatan Sadinoe yang digunakan Panglima Sudirman, menurut Nigsri putri keempat Sadinoe, merupakan hasil karya ayahnya. “Bapak pernah bercerita kalau sepatu Pak Dirman boot tingi yang sering digunakan apel meninjau barisan, karya bapak,” ujar Ningsri di kediamannya.

Pelangan sepatu Sadinoe bukan hanya kalangan istana, tapi juga di luar negeri

Tidaklah mengherankan, bila kemudian sepatu tentara buatan karyawan Sadinoe menjadi pilihan tentara waktu itu. Selain terbuat dari kulit asli pilihan dan kuat, juga dilengkapi sol pilihan. Bagi tentara lawas, ujar Ningsri menuturkan cerita ayahnya, bunyi derap sepatu buatan pabrik rumahan Sadinoe waktu itu, bunyinya lain bila dipakai tentara baris-berbaris.

“Seingat saya, bapak pernah bercerita kalau bunyi sepatu tentara buatan karyawannya waktu baris-berbaris berbeda dengan sepatu sekarang,” tuturnya. Kalau sepatu buatan sekarang, katanya menambahkan, tidak berbunyi. “Karena sepatu buatan kami, juga dipasang sol kembang ceremai baja pilihan tapi ringan. Jadi bunyinya sangat kas. Bunyinya bisa prok-prok-prok,” ujar dia.

Jaminan kualitas bahan kulit yang dipilihnya langsung, membuat hasil produk sepatu militer made in Sadinoe mulai merambah pasar hingga di luar negeri. Setidaknya, dipuncak masa kejayaan pabrik sepatu Sadinoe, pernah mendapat pesanan 30 ribu pasang sepatu untuk keperluan seragam dari Badan Pembekalan ABRI –TNI (red).
“Tetapi sekarang pesanannya semakin berkurang. Kalau pesanannya kurang dari 5000 pasang, sepatu untuk keperluan tentara, rasanya tidak cucuk. Akeh potongan. Belum lagi biaya uji dan untuk beli bahannya mahal,” tandas Ningsri tahun lalu di kediamannya (eddy j soetopo)

Previous Grontolism: The Java Wet Popcorn
Next Jejak Langkah Rosa-Verstegen Berkarya di Papua

No Comment

Leave a reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *