Grontolism: The Java Wet Popcorn


Jajanan Lawas Penganti Maem Sego (courtesy kemanaajaboleh.com)

Siapa nyana jajanan pasar jagung rebus diurapi bumbu gurih asem-manis menjadi primadona turis yang sedang klayapan di Sar Gede. Mereka nguber grontol makanan sela buat sarapan penganti roti bakar di hotel. Bukan hanya bule yang tuman maem grontol, tapi juga bupati se-Indonesia yang sedang diklumpukkan di Solo selama tiga dino, pingin bernostalgia makan. Harap maklum, tak banyak warga luar Solo yang bisa setiap hari nemuin jajanan pasar grontol jagung di daerahnya.

Meski beginu, tak banyak orang tahu asal-muasal nama pritilan jagung yang direbus dinamai grontol. Tidak juga simbok-simbok di dalam pasar Gede. Sejak awal mereka hanya memahami nama jagung direbus dan dibumbuin namane grontol. Entah kenapa nama jajanan pasar itu dijuluki grontol. Padahal, mung pritilan jagung rebus diurapi parutan kelapa muda.

Kagak Ada Nasi Grontol pun Jadi

Pengamat jajanan kuliner lawas, asal Solo yang tinggal di Jakarta, Mariza Sativa Bruned, juga ndak mudeng kalau nama jajanan jagung rebus itu namanya grontol. Padahal setahu dia, banyak jajanan pasar yang terbuat dari ketan, lendjongan, wajik dan jadah blondo pantas dikudapi. Kalau mung golek grontol di Sar Gede, menurutnya agak aneh.

“Wong Londo koq goleki grontol. Apa ndek negoronya ndak ada jagung rebus? Barangkali sing digoleki pritilan jagung godok trus dibumbui biar gurih. Mungkin juga dulu mbahnya pernah tinggal di Njron Beteng Kraton, makannya grontol,” kata dia di temui di museum Gajah, Jakarta, “bojo saya wong bule aja ndak nyari grontol.”

Paling banter, ujar Mariza peneliti tanaman pangan yang tinggal di Perancis, wong bule kalau ke Solo nyarinya klambi atau jarig batik tulis. Dugaan saya sih, simbahnya wong Londo itu pernah jadi penterjemah boso Jowo kraton. Jadinya punya cucu kelingan kalau dikasih duit jajan buat beli grontol. “Jaman ndisik’kan blum ada pop corn. Adanya pop corn teles-klebes alias grontol,” katanya nyengeges.

Sakjane, entah pemerhati kuliner atawa penikmat jajanan pasar asli Solo, kalau mau golek makanan khas dari ujung kampung ke tepi bengawan buanyak sekali yang belum terungkap. Tidak hanya grontol sing sakiki ndak terdengar menjadi makanan suguhan tamu, tapi juga jajan pasar laen. Dulu orang masih suka ndeprok di Sar Gede ngiras jenang grendul, sembari nyomak-nyamuk nyokot nyamikan lentho atau gatot. “Sekarang’kan ndak ada lagi.”

Jagung Manis Tanpa Pupuk Lebih Nikmat Jadi Grontol

Grontol dan tiwul ketika jaman melais –kahanan mlarat-rat kabeh sakwisnya kerusuhan penjajah Londo ditundung minggat– menjadi salah satu jenis makanan paporit pilihan akhir penduduk. Bagi pengemar jajanan lawas kuliner Solo tentu akan senang nyobain grontol diwadahi pincuk seperti jaman gegeran Londo mbiyen, ketimbang pakai piring beling. Katanya sih, selain mengingatkan masa lalu, juga lebih exotis kalau maem pakai pincuk godong gedang.

Selain itu, para penyuka jajanan grontol acap sinis dan nyap-nyap sambil misuh-misuh kalau jagung yang direbus ternyata ketuweken. Bukan hanya sulit dimamah gigi simbah, tapi juga tidak enak dimakan. Terkadang rasanya sepho, grontol yang dimasak jagung tuwir. Paling nikmat maem grontol jagung setengah tuwir alias JST. “Sama hal saat situ kesukaannya ngelirak-lirik priyantun setri STW atawa setengah tuwa.”

Namanya juga grontol dipahami sebagai isme, jadi setidak-enak rasanya pun, para penganut paham grontol mereka tetap ngeyel fanatik puol maem grontol. Termasuk si bule yang ngelabrak ke Sar Gede cuma nguber maeman grontol. So jadilah pengemar fanatik grontol, asal tidak ngrontoli kalau njeplak waktu dipriksa KaPeKa karena diduga korupsi. (Dadang Trisasongko/Eddy J Soetopo)

Previous Pidato Bung Karno Direkam di Lokananta
Next Bunyi Sepatu Tentara Buatan Sadinoe, Memang Lain

No Comment

Leave a reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *