Genre tergres seni orat-oret tembok, selain grafitie lagi ngehit di banyak negara maju. Bangkitnya seni lukis ditengarai dengan munculnya jenis Art Street Surrealism yang memang terlihat indah dipandang. Para pelukis tak lagi memakai cat plototan dan kanvas, tetapi menggambar tembok dengan teknik semprotan alias spray kalengan. Kebangkitan seni mengorat-oret tembok, sebenarnya bukan kali ini menjadi tonggak keberadaan graffiti, tetapi lebih dari sekedar mewarnai tembok. Genre baru itu, menekankan keindahan dan pewarnaan sesuai konsep penyemprotan dengant teknik prima. Bukan sekedar menebar kata dan gambar abstrak penuh kritik sosial.
Kini mewabah di negara ‘penjajah’ ekonomi negara ketiga: Amerika. Para seniman, sekarang tak tabu lagi menggunakan cat semprot tabung alias pilok. Kepiawaian memainkan tabung dan spryer dengan menenteng pilok di tangan menjadi keajaiban sebelum era generasi milenial yang serba dimudahkan ini.
Beralihnya mencampur-adukan warna cat minyak, sesuai dengan komposisi warna yang dikehendaki di atas palet dan akan ditorehkan di atas kanvas sebagai medium seni lawas mulai berganti. Bila tadinya mencampur warna bisa sekehendak hati, penggunaan pilog tak demikian. Paling banter menindih-nindihkan dengan berbagai teknik penyaring memakai bahan apapun, justru menjadi daya pikat para seniman. Hanya saja, medium yang akan diorat-oret menggunakan cat, tak selentur kanvas dan murah. Pasalnya, media kanvas bisa saja menggunakan tembok bangunan berbahan dasar kayu atau besi. Tentu gratis. Asal si pemilik tembok member izin, dan hak ciptanya ada pada sang seniman pilog.
Pada pertengahan tahun 1990-an, bahkan para seniman jalanan yang tergabung dalam street art pernah mengorat-oret tembok di penyangga jalan toll di Jakarta. Meski masih menggunakan cara-cara lama memakai cat minyak-tembok, mereka belum berani bereksperiman melukis dengan sentuhan art mooi-indie bergambar uayu-uayuan atawa komposisi bagus dilihat. Mengorat-oret tembok, bahkan dianggap brutal dan banal lantaran tak berkonsep seni yang elok dilihat. Alhasil, gambarnyapun dianggap, waktu itu Dinas Kebersihan Kota, justru mengganggu babar-blas. “Bagaimana mungkin seni graffiti bisa dianggap bagus dan menarik dipandang mata, kalau tulisan berisi kritikan cacimaki,” ujar Hertog Leonard, pengamat graffiti, dihubungi contributor Sarklewer di AS, “sekarang eranya model graffiti beda dengan model yang berkembang di negara berkembang.”
Bisa jadi, ujar Hertoq Leonard menambahkan, tampaknya perkembangan dunia seni, terutama lukis kanvas-cat minyak akan tergusur dengan genre seni baru memakai cat semprot. Hal itu justru akan menciptakan para seniman lukis genre baru. Entah apakah perkembangan seni lukis semprot bisa dikatakan memiliki keunggulan, atau malah akan menjatuhkan nilai pada sang seniman, tidak bisa diprediksi.
“Kenapa harus dipersoalakan bila seni menuangkan cat semprot pakai pilog dipermasalahkan keberadaannya. Kan lucu. Jelas beda alirannya, street art dan seni murni di atas kanvas punya jalur masing-masing. Sah-sah saja. Lihat saja di tembok yang menjulang di negara-negara lain, mereka justru mempopulerkan street art di tembok. Bukan lagi menukik melulu sebagai graffiti penuh dengan cacimaki.”
Menurut dia, keponggahan para seniman seni lukis murni yang menampik keras art street surealism di Tembok disebut bukan termasuk kategori sebagai pelukis dianggapnya keliru. Bagaimana mungkin para penoreh cat semprot, misalnya airbrush pada tanki speda motor atau bak truk tidak boleh disebut sebagai seniman. Bila dibanding militansi seniman di negeri ini dengan para art street surrealism dengan mereka yang dilahirkan di benua lain, tentu jauh tak bisa dikatakan. Bagaimana mungkin para seniman local –baca: di kota Begawan Solo– mampu menuangkan gagasan mengorat-oret tembok tinggi dengan ciamik, kalau tidak memiliki fasilitas dana penunjang. Berbeda dengan mereka yang berada di luar negeri.
“Mereka memperoleh pesanan menuangkan gagasan, membuat lukisan di gedung bertingkat dengan disokong para pemilik gedung dan penyewa ruang. Tapi ada pula yang bekerja sendiri, mencari sponsor dari berbagai pihak. Sepanjang pemilik gedung member izin. Jadinya bukan sekedar menuangkan gambar,” tutur Leonard ditemui di New York.
Bisa dibayangkan, papar Hertog Leonard, betapa sulitnya mencari sponsor buat perhelatan seni di gedung pencakar langit di beberapa negara. Meski demikian, asosiasi antarpelukis di luar sangat erat dan memungkinkan bergerak rame-rame saling mendukung gerakan art street surrealism. “Saya tidak tahu apakah di negaramu juga memungkinkan membuat lukisan di gedung bertingkat seperti di luar negeri?” Entahlah.
Pertanyaan menohok dari seniman kelahiran Perancis tentu sulit dijawab. Selain di negri ini tak banyak sisa tembok pencakar langit yang gampang dilukis, juga sulit memperoleh izin pemilik gedung bila tidak menguntungkan. Lihat saja gedung-gedung tinggi di Jakarta, hampir semuanya dilapisi kaca tak sedikitpun tersisa bangunan tembok yang bisa diorat-oret menggunakan cat. “Jangankan meminta izin pemilik gedung, sisa tembok di Jakarta tak banyak tersisa yang memungkinkan dapat dilukis. Bahkan tiang di bawah jembatan layang, dulu juga dilarang digambari. Jadi jangan berharap pertanyaan mungkinkah street art di kota-kota besar di negeri ini berkembang. Rasanya sulit.” (thomas/nicole dari As/eddy je soe-Solo)
No Comment