Seni tidak mengenal tempat dan cara. Tembok-tembok tinggi pun bisa menjadi sasaran ekspresi para seniman dengan aksi corat coret. Hasilnya lukisan-lukisan mural lahir dari tangan-tangan kreatif para pekerja seni. Lihat saja dinding-dinding yang mengelilinggi stadion Kridosono di Yogyakarta, semua dipenuhi dengan lukisan. Semuanya menggambarkan bentuk kekecewaan yang tertuang di sekujur tembok pembatas standion sepak bola.
Ada yang bercerita, ada pula yang digambarkan berteriak dan gambar para pengemis. Tidak lupa gambar protes pada penguasa. “Jangan bawa kendaraanmu ke kotaku, bikini macet!” Itulah seni corat-coret di tembok kota-kota besar di Indonesia, Mural.
Mural seninya para kaum pembangkang. Demikian acap hasil kreativitas para penggiat seni diberi lebel. Tidak hanya di Jakarta, tetapi di banyak negara pun menjadi trend mengorat-oret sekujur tembok. Bila protes antar-manusia tak dihiraukan, ucap salah satu penggiat seni kontenporer asal Jerman George van Lucievat pada kontributor sarklewer.com, tembok pun dipilih buat pelampiasan mewakili corong suara yang tak terdengar. “Saya kira tidak hanya di Jerman, tapi juga di negara lain akan sama, memprotes dan berteriak lewat tembok. Bahkan tembok pembatas di Jerman pun diorat-oret para seniman penggiat mural. Itu sah saja. Apa di negara kamu tidak?” tanya dia.
Ach sembarangan aja. Lihat saja di Jakarta dan kota lain. Mereka juga tak kalah peka. Mereka pun ikutan mencorat-coret tembok dan bersuara sesuka hatinya. Bukan hanya saat ini para seniman mural ikut berteriak menyuarakan ketidak-adilan di negri ini. Bahkan sejak jaman sang diktator berkuasapun, mereka menyuarakan gambar lewat coretan satir dan menohok sang diktator Orba waktu itu. Bukan hanya di Tembok Berlin, para seniman mural Indonesia itu mencorat-coretkan cat menumpahkan kejengkelannya, tetapi juga di Jakarta. Lihat saja kegiatan mereka tempo hari.
Malam mulai merayap. Sekelompok anak muda terlihat menuju fly over di Prumpung, daerah Kampung Melayu, di Jakarta, sejumlah anak muda berambut gondrong dan beberapa perempuan membawa tas besar, berisi kaleng, cat minyak dan tangga pemanjat tiang penyangga jalan layang. Bermodalkan peralatan tadi, anak-anak muda tadi mulai mencorat-coret tembok di bawah jembatan, hanya dengan penerangan lampu jalanan. Mobil-mobil yang bersliweran tak mereka hiraukan. Kadang-kadang mereka celingukan, seperti takut ketahuan polisi patroli.
Hingga larut malam mereka masih tenggelam dalam aktivitas menumpahkan kegeramannya melalui cat, melukis mural di dinding. Mungkin karena lelah, sebagian menggelar koran dan tidur di bahu jalan. Kian lama, coretan di tembok semakin terlihat bentuknya, yaitu lukisan wajah-wajah manusia dengan berbagai tipe, laki-laki maupun perempuan, ada yang berjilbab, ada yang keriting, ada yang hitam.
Di akhir pekerjaan, mereka menorehkan tulisan dengan huruf besar-besar Kita Berbeda Tetapi Tetap Bersaudara. Fajar mulai menyingsing, mereka buru-buru meninggalkan tempat sebelum tindakan mereka menarik perhatian pemakai jalan.
Hari-hari berlalu, tidak ada yang peduli dengan lukisan tadi. Kalaupun ada, orang-orang tidak akan bertanya lebih jauh siapa pelakunya yang ternyata anak-anak mahasiswa Universitas Negeri Jakarta (UNJ). Tindakan mereka mencorat-coret tembok sudah direncanakan lama. “Daripada dicorat-coret tidak karuan, mending kita beri gambar atau lukisan,” ujar Jejek, salah satu pelukis, tahun lalu
Apa yang dilakukan Jejek dan teman-temannya beberapa tahun lalu, lantas diikuti kelompok lain. Kini hampir di semua kolong fly over di Jakarta dipenuhi lukisan grafitti yang lebih dikenal dengan Mural. Mural selain menjadi ajang mengekspresikan seni, terbukti bisa mempercantik kota. Para pengguna kendaraan mau tak mau melirikkan mata saat saat lampu merah menyala. Benar apa yang dikatakan Jejek, daripada dikotori kata-kata yang tidak seharusnya. Jejek sendiri bersama 7 orang temannya tetap eksis melukis Mural.
Mereka membentuk Corat-Coret Community (CCC) atau komunitas corat-coret sebagai nama kelompok. Sejak perbuatan “iseng” di Prumpung, sudah puluhan lukisan Mural mereka garap. Tahun lalu mereka mendapat proyek di stadion sepakbola di Palembang dan rutin mendapat proyek di festival Jak@art. Belum lagi pesanan dari perorangan yang ingin memberi sentuhan mural di tembok rumahnya.
Rizka Anggraini, satu-satunya perempuan di komunitas corat-coret membenarkan, pada awalnya meraka tidak sengaja menceburkan diri di dunia mural. Kebetulan lukisan di Prumpung menarik perhatian seorang anak muda. Pemuda tadi lantas menghubungi Rizka, dan mengungkapkan keinginannya membuat lukisan untuk pacarnya yang sudah meninggal. Keinginan tadi akhirnya terwujud melalui lukisan “Mrs. Georgeus”, yang berada persis di seberang lukisan pertama.
Tentu saja ini bagaikan berkah bagi Corat Coret Community. Dari sekedar iseng, mereka bisa mendapatkan uang yang nilainya lumayan untuk kantong mahasiswa. Satu kali order bisa bernilai sampai Rp 10 juta. “Dulunya temen-temen nggak punya Handphone, sekarang bisa beli dan bisa bayar kuliah sendiri,” ujar cewek yang lantas dinobatkan menjadi manager.
Timbul Tenggelam
Saat ini Corat-coret Cumunity telah menghasilkan lukisan mural yang tersebar dia berbagai titik jalan. Tentu saja mereka tidak perlu sembunyi-sembunyi lagi, karena tindakan mereka legal. Dari segi kualitas, dibandingkan yang pertama, lukisan mereka jauh lebih baik. Dulu mereka hanya mampu membeli cat murah seharga Rp 5000 per kilo. Kini mereka bisa melengkapi diri dengan peralatan standart. Sayangnya beberapa lukisan mural dihapus Pemda DKI seperti yang terjadi di perempatan Kuningan dan Slipi.
“Itu bukan hal yang baru, gambar-gambar mural memang sering dihapus, terus nanti muncul lagi. Hilang timbul terus. Kita tidak dikabari, tahu-tahu hilang aja,” ujar Rizka. Untungnya, tambah cewek bertubuh mungil ini, lukisan kelompoknya belum ada satupun yang dihapus.
Rizka menyebutkan, CCC memiliki ciri khas untuk semua lukisannya, yaitu judul yang panjang-panjang,dan sarat dengan pesan. Sebut saja Samudra Kite Kaye Raye, City of Angel dan Wonderful Tonight. Soal pemilihan gambar, mereka tidak pernah kesulitan. “Biasanya kami menerima konsep dari pemesan. Misalnya pemesan ingin konsep planet, bola atau pemandangan. Kami lalu bikin gambarnya. Semua anggota nyumbang gambar. Kemudian gambar yang paling bagus yang dipilih,” jelas cewek kelahiran 11 Juli 1982 yang dipanggil “nyonya” oleh anggota kelompoknya. Selain perempuan satu-satunya, Rizka juga satu-satunya anggota yang bukan berasal dari Fakultas Seni Rupa UNJ. Meski begitu mahasiswi Fakultas Teknik jurusan Design Busana ini sudah telanjur cinta dengan aktivitas di komunitas corat coret.
Layaknya seorang manager professional, Riska punya aturan sendiri untuk tiap proyek yang ditawarkan. Setalah teken kontrak, dia biasanya akan meminta uang muka 50% kalau bahan dari pemesan atau 25% bila bahan dari mereka. Sepuluh persen wajib masuk kas dan sisanya dibagi ke anak-anak. Kalau tak ada order? Jangan salah, the show must go on. Tiap kali melihat tembok putih, tangan-tangan mereka sepertinya gatal. hasilnya, hampir semua tembok di kampus Seni Rupa UNJ sudah “habis” tak bersisa, penuh lukisan.
Riska menyatakan keinginannya untuk menjadikan CCC sebagai organisasi pelukis mural professional. Ia menginginkan memiliki markas sendiri atau base camp yang kelak bisa dijadikan kantor. “Saat ini kita belum punya, ya ketemunya di kampus aja,” katanya. (Eddy J Soetopo)
No Comment