Perempuan lajang dari Australia, Jane Ahlstrand, lahir di sebuah perkampungan kecil Toogoolawah, sebelah barat Brisbane, Queensland, lama tertarik menekuni tari Bali. Sejak tahun 2011, ia nekat wira-wiri lebih dari satu setengah tahun dari Australia, hanya ingin belajar tari Bali.
Untungnya, Jane terpilih sebagai peserta program beasiswa Darmasiswa, ia langsung mendaftar di jurusan tari di Institute Seni Indonesia, Denpasar, Bali. Sejak itu ia tekun tanpa takut walah belajar dan mempraktikkan berbagai jenis tari yang ada di Bali.
Sewaktu tinggal di Bali, tutur Jane dalam wawancara via What-App, ia justru membantu menjadi komunikator antara penduduk setempat dengan turis dari berbagai negara menggunakan bahasa Indonesia campuran dialeg Bali.
Menurut dia, di ndesonya tak banyak orang Asia yang datang ke Queensland. Padahal di daerah tempat tinggalnya pun juga banyak sapi dan pegunungan. Karena itulah, tutur Jane, ia tertarik menekuni secara serius budaya asing di negara lain.
“Saya tertarisk mempelajari budaya Asia. Makanya saya memutuskan tinggal di Bali dan pernah ke bekerja di Korea. Lama-lama bahasa Indonesia kok lupa, padahal saya belajarnya lama. Setelah saya pertimbangkan, saya harus balik ke Bali. Karena dekat ke Australi, jadi bisa pulang-balik lebih dekat,” ujar dia beralasan.
Kecintaannya pada budaya dan tari Bali, menyebabkan Jane ogah belajar tari lain. Selain secara formal belajar sejarah tari dan teknik menari di ISI, tetapi ia lebih banyak mempraktikkan gerak tari di sanggar Lokananta di desa Singapadu.
“Di Bali kan tidak ada guru tari Jawa. Belajar sendiri dari You Tube, saya tidak bisa menangkap teknik dengan benar. Ya sudah belajar tari Bali dulu di Singapadu, meski dicampur dengan penari anak-anak yang sedang belajar,” ujar dia.
Kalau ditotal sejak ia belajar menari tahun 2011, Jane Ahlstrand sang kandidat doktor itu telah menghabiskan waktu lebih dari 6 tahun mempelajari dan melatih gerak tari yang berbeda dengan balet. Tidak mengherankan bila Jane acap gedandhapan ketika guru tarinya menyuruh matanya melerok ke kanan dan kiri.
“Susah kalau mata saya disuruh melirik dengan kocak ke kanan-kiri. Apalagi gerakan tubuh saya sangat kaku. Keduwuren –ketinggian– jadi susah melengkung menirukan gerak tari pendhet,” ujarnya.
Walau setiap hari dilatih menirukan gerakan yang sulit dalam tari Bali, Jane pantang menyerah. Menurut dia, keingintahuan untuk mendalami tari dengan serius, menjadi tantangan tersendiri baginya.
“Sebenarnya saya itu pemalu. Tapi tidak masalah. Karena saya suka tantangan. Sekarang bisa menari Bali, meski tak seindah wong mBali bener,” katanya merendah, “tapi di lingkungan orang asing, cukup dianggap bagus.”
Tidaklah mengherankan bila Jane kepincut dengan tari Joged Bumbung dan Tari Pendhet yang divisualkan sebagai tari penyambutan. Pada dasarnya, tutur Jane, hampir semua tari di Bali memberi nuansa kedamaian dan persaudaraan.
“Saya senang sekali kalau bisa menari tari joged bumbung karena itu bikin semua orang tersenyum, termasuk saya sendiri juga ikut tersenyum. Tarian yang lebih lembut dan sensual karena mungkin lebih cocok dengan kepribadian diri saya,” papar dia, “saya memaknai tari sebagai penebar cinta kasih.”
Meski sekarang dirinya sedang merampungkan desertasi doktornya di University of Quensland, dia berjanji mau ajar nari Jowo di Solo. Topik bahasannya nyeremin, mengkaji soal Demokrasi dan Gender. “Nanti kalau selesai, saya mau melancong ke Solo ajar nari Jowo,” pungkas dia (eddy je soe)
No Comment