Pernah makan kompia? Makanan khas roti Solo keras kepala, mirip dengan makanan cepat saji di restorant Hamburger, tak mungkin ditemui di kota lain. Tidak seorang pun mengetahui secara persis kapan roti terbuat dari gandum dan dioven hingga mengeras, disukai orang Solo sebagai penganjal perut. Hanya saja tak satupun warga yang tinggal di perkampungan Balong, Kelurahan Sudiroprajan, mayoritasnya dihuni warga keturunan Thiongwa, tahu asal muasal kompia.
Apalagi ditanya sampai detail siapa yang mengawali dodolan kompia, jawabannya pasti gelengan kepala, kalau tidak mengira-ira kedatangan kompya di Solo. Nyio Hien, 73 tahun, cino sepuh penduduk Balong memperkirakan serbuan pengganjal weteng luwe itu diperkirakan tahun 1966.
“Kompia ke Solo memenuhi jajanan bakul tenongan pada awal 1966. Seingat saya, ujar Nyio Hien, Kompia bisa dibeli dibakul tenongan setelah banjir bandang,” katanya sembari menambahkan, “saya sempat beli di depan gedung Gajah [maksudnya PMS – Perkumpulan Masyarakat Solo – Red], pagi-pagi sudah ada yang jual kompia. Maklum saja beras tidak ada. Yang ada Bulgur –beras jatah beras-campur dedag dari Amerika- waktu itu memang jaman serba sulit.”
Entah lantaran bisa menganjal perut hingga berhari-hari, atau lantaran gurih dan tidak ada pilihan lain, kompia banyak digemari. Menurut Nyio Hien, namanya makanan pada waktu itu, yang paling penting ditemukan bisa menahan lapar.
“Makane orang ndak mau repot. Cari saja kompia. Lauknya bisa Phia-pia di masukkan ke dalem kompia, terus dimakan. Sehari, dua hari dijamin tidak lapar. Yang namane kompia dulu itu besar, tidak seperti sekarang, kuecil banget,” ujar dia mengenang.
Selain itu, ujar dia menambahkan, harga kompia dengan Phia Rp.15, beras tidak ada yang jual sejak banjir bandang setelah geger Gestok waktu itu. Menurut Nyio Hien, sebenarnya nama panganan asli kompia itu ‘Guang Ping’di semanjung Sarawak.
“Entah kenapa sesampai di Balong namanya berubah kompia. Padahal ndek negara asalnya China diproduksi Qi Jiguang pada tahon 1962 di Fujian. Mungking juga ada kakek-nenek olang Balong itu yang bawa ke sini,” katanya sok teu.
Masih menurut Nyio Hien, kompia memang disengaja dibuat keras agar tahan lama dibawa kemanapun. Ada juga betuk Kompyang dibuat lubang di tengah, ujar dia, biar bisa dikalungkan ke leher sewaktu berjualan di jalan.
“Dulu sebelum banyak makanan yang bisa dibawa kemana-mana, makanya biar ringkes di lubangi di tengah. Tujuannya biar bisa dikalungke di leher dan cepat dimakan kalau tentara-tentara China itu perang,” papar Nyio Hien.
Seperti juga Nyio Hien, turis asal negeri Londo, Fredy van Housten, heran menemui kerasnya tidak lazim. Selain keras, ujar Housten bentuknya mirip dengan burger. Barangkali makanan cepat saji seperti ham burger itu terinspirasi jajanan asal negeri China, Kompia.
“Saya yakin, ham burger itu dibuat menyerupai makanan Kompia dari China. Selain bentuknya bulat dan ditaburi wijen khas jajanan masa lalu negeri China. Hanya saja, kalau Kompia tanpa disisipi dengan daun selada dan daging,” tutur Fredy peneliti kuliner di Solo Selasa (11/7)
Lebih lanjut Fredy van Housten menemukan banyak jajanan khas Solo yang semakin hilang dari peredaran. Sebut saja, makanan seperti Grontol, Tiwul, Gathot dan Lento sekarang sulit dicari. Kalau pun ada, katanya, hanya bisa ditemui di tempat angkringan wedangan di malam hari.
“Selebihnya sulit digoleki di toko atau warung makan. Masih banyak yang perlu saya teliti. Saya suka jajanan tradisional, kalau makanan eropa udah bosen,” pungkas Fredy di samping Klenteng Sargede (Budi Rahayu/Eddy Je Soetopo)
No Comment