Mama Yosepha Alomang


2001 Goldman Environmental Prize recipient Yosepha Alomang with the Ouroboros

Wanita setengah abad ini memang luar biasa. Dengan keterbatasannya, ia berani melawan ketidakadilan dan kekerasan yang terjadi di Papua. Yosepha Alomang, wanita asal Amungme, Timika, Papua, dikenal masyarakat luas sebagai pahlawan pejuang Hak Asasi Manusia di kampung asalnya, Agimuga.

Semasa kecilnya, Yosepha, yang lahir di Tsinga tahun 1959 ini sudah hidup mandiri. Ibunya meninggal sejak ia masih balita. Sedangkan ayahnya meninggal ketika ia berusia sepuluh tahun. Ia tinggal bersama saudara dari ayahnya. Sehingga kurang mendapatkan kasih sayang dan perhatian. Untuk makan sehari-hari, ujar Yosepha bertutur ketika ditemui di rumahnya, ia merasa bersukur. Bahkan saking melaratnya, saat itu, Yosepha pun tak sempat mengenyam pendidikan formal. Ia hanya berguru pada alam.

Peraih penghargaan penyelamat lingkungan

Mama Yosepha, sapaan akrabnya, menjalani hidupnya sebatang kara hanya dengan mengandalkan lingkungan dan alam sekitar. Kesehariannya ia lalui dengan berkebun mengolah ladang di pinggir hutan belantara di sekitar tempat tinggalnya. Di usia relative muda, 15 tahun, Yosepha dipinang oleh seorang asli Agimuga. Niatnya menikah muda agar ada seseorang yang mengurusi dan menyayanginya. Mereka dikaruniai 6 orang anak dan 7 orang cucu. Dua orang anak diantaranya telah meninggal dunia akibat kelaparan.

Pada tahun 1984 suami Yosepha pun meninggal dunia akibat minuman keras. Dengan berbagai cara ia harus membesarkan anak-anaknya. Dengan raganya ia harus berjuang merawat dan membesarkan anak-anaknya seorang diri tanpa sosok suami.

Sambil mengurus anak-anak, Mama Yosepha menghabiskan waktunya untuk melayani orang sakit. Di tahun 1983 Ia diberi pelatihan serta dinobatkan sebagai dukun terlatih desa. Tubuh mungilnya menjadi saksi melayani masyarakat Amungme. Dengan penuh kasih sayang ia tak pernah jemu mengobati dan merawat mereka hingga sembuh.

Pengalaman hidup ini yang membuat Mama Yosepha menjadi berani dan tegar menjalankan hidup. Berawal dari budaya dan adat yang berlaku di Papua, Mama Yosepha memilih untuk tidak diam. Ia tahu bahwa di Papua perempuan tidak punya hak untuk berbicara dan mengapresiasikan diri. Perempuan tidak diperkenankan untuk tampil di depan publik. Bahkan perempuan dilarang bergabung dalam upacara-upacara adat. Perempuan hanya boleh mengurusi anak, memasak di dapur dan berkebun.

Fakta ini membuat Mama Yosepha berang dan menolak adat yang menurutnya tidak pantas dilanjutkan. Ia katakan, budaya Papua memang ada yang bagus dilanjutkan. Tetapi ada yang tidak layak untuk diteruskan. Kasus seperti ini yang tidak pantas untuk diikuti. Karena ia menganggap perempuan hanya sebagai alat untuk dibodoh-bodohi dan dipermainkan oleh kaum pria.

Ia katakan, laki-laki kadang tidak jujur dengan perempuan. Perempuan tidak berani membantah dan mengikuti semua kemauan laki-laki. Ditambah lagi dengan suaminya yang meninggal karena mabuk-mabukan membuat trauma dalam diri Yosepha. Ia menganggap alkohol diperkenalkan pada masyarakat untuk merusak mereka. Alkohol digunakan sebagai alat tukar untuk membayar para pekerja.

Ditambah lagi dengan lingkungan tempatnya hidup dan berkebun yang makin lama nyaris lenyap itu. Perusahaan tambang ini merusak alam dan kebun tempat mereka hidup. Air sungai menjadi keruh, gunung habis d gasak bulldozer berkekuatan besar. Ditambah lagi dengan perlakuan militer di area PT. Freeport Indonesia yang tidak layak dilakukan kepada warga sekitar.

Mama Yosepha tidak tinggal diam. Usahanya dibantu pihak gereja Katolik mendirikan Koperasi Kulalok. Untuk membantu memasarkan sayuran dan hasil kebun masyarakat. Namun nyatanya, perusahaan tidak membeli dari hasil kebun mereka. Perusahaan lebih memilih untuk mendatangkan dari luar pulau Papua.

Perlawan demi perlawanannya berlanjut. Pada tahun 1994, Mama Yosepha ditahan karena dituduh OPM (Organisasi Papua Merdeka). Ia disekap bersama 15 orang perempuan lainnya. Dimasukkan dalam sebuah ruangan yang berisi kotoran manusia sebatas lututnya. Makan dan tidur ia habiskan diruangan itu.

Bukan cuma kali itu saja, sejak tahun 1983 hingga 1994, Mama Yosepha sudah keluar masuk penjara sebanyak 18 kali. Dikarenakan perlawanannya kepada militer dan PT. Freeport Indonesia.

Padahal ia hanya menginginkan ganti rugi atas tanah dan lingkungan miliknya yang lenyap akibat aktivitas pertambangan di area ini. Ia salah seorang yang turun ke jalan dan menolak PT. Freeport. Pada tahun 1997 ia melakukan aksinya untuk tinggal dalam area PT. Freeport. Berunjuk rasa dengan membuka baju dan menentang militer.

Tiap kejadian yang terjadi membekas dalam benak Mama Yosepha. Trauma menjadi tantangan terbesar yang dialaminya. Takut jika dikunjungi oleh orang asing. Karena beberapa kali, ia diculik dari rumahnya dan dimasukan dalam penjara. Sampai pernah ia mengalami trauma hebat. Selama setahun ia tidak bisa makan dan tidur dengan nyenyak. Karena ia takut diculik ketika sedang beristirahat.

Keberanian dan kenekatannya itu disoroti Pemerintah Indonesia sehingga ia diberi penghargaan Yap Thiam Hien pada tahun 1999 sebagai pejuang Hak Asasi Manusia. Sejak menerima penghargaan itu, Mama Yosepha lebih tenang dan tidak merasa dikejar-kejar. Sehingga mengurangi trauma yang ia alami selama dua puluhan tahun.

Mama Yosepha terharu dan merasa dihargai atas penghargaan yang diberikan padanya. Keluarga juga mendukung usahanya tersebut. Sejak menerima penghargaan itu, Mama Yosepha ikut berbagai aksi tingkat Nasional bahkan internasional. Sampai-sampai ia pernah diundang ikut aksi demonstrasi di Thailand yang menolak kekerasan dalam rumah tangga.

Di tahun 2001 ia mendirikan YAHAMAK (Yayasan Hak Asasi Manusia Anti Kekerasan) memakai uang yang diterima saat mendapat penghargaan HAM. Di tahun yang sama pula, ia dipanggil ke San Fransisco untuk menerima penghargaan Anugerah Lingkungan Goldman. Sebagai penghargaan atas perjuangannya melindungi hutan, gunung dan sungai di sekitar area tambang.

Mama Yosepha memang sosok wanita luar biasa. Ia menangis ketika menginjakkan kaki di Ibu Kota Jakarta. Ia melihat banyak orang yang tidur dikolong jembatan dan dijalan-jalan. Ia marah dan protes. Ia katakan bahwa mereka juga manusia. Kenapa tidak ditempatkan di tempat yang layak. Hatinya teriris saat melihat keadaan di Ibu Kota yang sangat memperihatinkan itu.

Ditambah lagi dengan tontonan televisi yang tidak layak. Film yang disiarkan ditelevisi menurutnya hanya mengajarkan orang untuk berbuat tidak baik. Anak membunuh orang tua, Suami menyiksa istri, kebencian, iri hati yang selalu ditampilkan dalam siaran. Ia kesal dan marah jika menyaksikannya. Menurutnya televisi hanya menampilkan kejelekan hubungan bermasyarakat.

Menyoal generasi muda yang ingin berjuang seperti Mama Yosepha, ia berpesan agar sebagai perempuan harus berani dalam menyelesaikan masalah. Jangan kalah dengan kaum pria. Menurutnya, pria acap memperdaya kaum perempuan. Kaum pria, katanya menambahkan, hanya memanfaatkan dan sering berkata tidak jujur. Sebagai seorang perempuan, katanya menambahkan, kita harus berani tampil di depan publik dan berani menyampaikan aspirasi. “Jangan takut melakukan terobosan untuk memperjuangkan keadilan,” katanya tandas.

Lebih lanjut ujar Mama Yosepha mengibaratkan, kaum perempuan seperti “gula-gula”. Menjadi barang yang diperebutkan banyak orang karena rasanya manis, tapi setelah itu dicampakkan. Menurutnya pandangan seperti itu, ujar dia, harus diubah. Sebab bila tetap dipertahankan, bisajadi malah menjerumuskan posisi kaum perempuan itu sendiri ke hal-hal tak pantas dilakukan.

Obsesi dan target Mama Yosepha ke depannya, ia ingin terus menolong orang sakit, memberi nasihat serta solusi bagi orang yang membutuhkan. Sampai akhir hayatnya ia ingin terus mengabdikan diri memperjuangkan HAM di Papua dan menyerahkan hidupnya bagi orang lain yang membutuhkan. Walaupun ia tak pernah bersekolah, namun ia punya ide untuk menyuarakan apa yang menjadi kekesalan serta ketidakadilan yang terjadi dalam sosial masyarakat kita (Brigita Masturbong/Eddy Je Soetopo)

 

Previous Gigi Tonggos Juga Perlu Disidik
Next Burger Jawa itu Kompia Namanya

No Comment

Leave a reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *