Solo Eco Cultural City Akan Tercapai?


Gagasan mantan Walikota Solo, Jokowi untuk menjadikan kota Solo sebagai Eco Cultural City pantas ditindaklanjuti

Solo Eco Cultural City yang dicanangkan mantan walikota Surakarta, Joko Widodo, telah berjalan delapan tahun sejak tahun 2010 digulirkan Jokowi yang saat ini menjadi orang nomor satu di republik ini.  Badan Lingkungan Hidup (BLH) Kota Surakarta, diberi kewenangan untuk menyediakan RTH (Ruang Terbuka Hijau) Publik seluas 20 persen, dan RTH Privat seluas 10 persen.

Keinginan mantan walikota yang kini menjadi orang nomor satu di republik ini, bukan hal yang sulit ditindaklanjuti, mengingat telah digariskan melalui payung hukum di UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.  Gayung pun bersambut, pada tahun 2010, BLH Kota Surakarta melakukan pendataan luasan RTH Publik bekerja sama dengan SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) terkait, hasilnya didapat RTH Publik mencapai 18,23 persen.

Sebagai destinasi budaya bernuansa keindahan kota, Taman Balaikambang layak dikembangkan

Setahun kemudian Balitbang (Badan Penelitian dan Pengembangan) Provinsi Jawa Tengah juga melakukan pendataan ulang luasan RTH Publik di Kota Solo. Alih-alih data kedua instansi pemerintah, hasil pendataan tersebut sinkron, tetapi justru menimbulkan kebingungan para pengamat lingkungan hidup di Kota Solo. Hasil pendataan ulang Balitbang Provinsi Jawa Tengah menemukan luasan RTH Publik 11,9 persen.

Perbedaan significan prosentase hasil pendataan tersebut memang pantas dipertanyakan. Mengapa hal itu dapat terjadi. Perbedaan angka luasan RTH yang digunakan Balitbang Provinsi Jawa Tengah dengan BLH Kota Solo lantaran cara perhitungan yang digunakan tidak sama. “Jelas hasilnya tidak sama,” ujar Luluk Nurhayati, Kepala Bidang Pengendalian Kerusakan Lingkungan Hidup (PKLH)

Ruang Terbuka Hijau Publik di tempat-tempat strategis di Jalan Slamet perlu dikembangkan 

Balitbang Provinsi Jawa Gtengah menggunakan UU Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang yang menghitung sawah, tegalan dan tanah kosong termasuk RTH Privat. Sedang BLH Kota Surakarta saat menghitung menggunakan Permendagri memasukkan sawah, tegalan dan tanah kosong ke dalam RTH Publik.

Agar tidak menimbulkan kegaduhan akibat kesalahan interpretasi, BLH Kota Surakarta menghitung ulang dengan memasukkan taman kota, antara lain Taman Urban Forest (TUF), Taman Sekartaji, dan Taman P2KH. Hasilnya prosentase luasan RTH Publik menjadi 12,03 persen pada tahun 2015.

Tidak puas dengan hasil perhitungan pendataan ulang yang dilakukan pada 2015, BLH Kota Surakarta melakukan pemetaan dengan melibatkan konsultan publik menggunakan metode GIS (Geograpic Information Sistem) berobyek Poligon. Selain itu BLH Kota Surakarta dan OPD (Organisasi Perangkat Daerah) terkait juga turun langsung ke lapangan melakukan perhitungan manual menggunakan meteran yang dicocokkan dengan sertifikat tanah yang ada dari tahun 2010 sampai pertengahan 2015.

Hamparan rumput dan pohon peneduh sebagai ruang terbuka hijau perlu diperluas

Tahapan GIS maupun perhitungan manual yang dilakukan BLH, berdasar luas kota Solo sesuai RTRW diperoleh temuan, titik valid koordinasi pemetaan, meneliti ulang penggunaan lahan di Solo, melakukan sampel presisi data dan melakukan croscek hasil pemetaan. Hasilnya diperoleh RTH Publik sebesar 9,72 persen dari luas lahan 428,07 Ha. Meski pun masih abu-abu perhitungannya RTH Publik ditambah RTH Privat seluas 21,51 persen, namun jumlah total RTH secara keseluruhan 31,23 persen.

Pertanyaan yang mencuat dalam sidang di gedung DPRD Kota Surakarta yakni mengapa RTH Publik di tahun 2015 turun dari 12,03 persen menjadi 9,27 persen, menurut Luluk, banyak penyebabnya. Antara lain banyak lapangan yang dulunya merupakan RTH Publik berubah fungsi menjadi bangunan sekolah, Rusunawa (Rumah Susun Sewa Sederhana), dijadikan RSUD (Rumah Sakit Umum Daerah) Ngipang dan menjadikan jalur hijau menjadi tempat mangkal PKL (Pedagang Kaki Lima).

Andaikan Solo telah menjadi kota bernuansa sebagai Eco City alangkah indahnya

Dengan kondisi RTH Publik di Kota Surakarta yang masih berada di bawah ketentuan peraturan minimal 20 persen, BLH di RPJMD diminta bisa menambah luasan RTH Publik selama 5 tahun, dengan target 2,5 hektar per tahunnya. Meski BLH menyanggupi target yang ditetapkan Pemerintah Kota (Pemkot), dengan catatan apabila Pemkot bersedia menyediakan anggaran setiap tahunnya 10-14 miliar untuk pengadaan pembelian tanah yang akan dijadikan RTH Publik.

“Hal tersebut dapat terwujud bila pemerintah membeli lahan privat setiap tahun 2,5 ha dengan asumsi harga tanah pada tahun 2017 sebesar Rp.2 juta per m2 dan pembangunan RTH perlu biaya 5 miliar. Dengan demikian Pemkot Solo harus menyediakan dana sekitar Rp.10 miliar,” ujar Luluk, “bila asumsi setiap tahun harga tanah naik, Pemkot diwajibkan menyediakan 10 s/d 14 miliar per tahun.”

Sampai saat ini, Pemerintah Kota Surakarta melalui DLH Kota Surakarta belum bisa mewujudkan pembelian lahan privad. Permintaan BLH agar Pemkot menyediakan anggaran jelas ditolak anggota DPRD Kota Surakarta. Ketua Komisi II YF Sukasno menyatakan tidak sepakat bila pemerintah harus menyediakan anggaran sebesar itu. Masih banyak cara agar RTH Publik dapat tercapai.

“Penyediaan anggaran yang diminta BLH terlalu besar. Pemerintah tidak memiliki dana anggaran buat beli tanah. Sebenarnya masih banyak cara untuk menambah RTH Publik seperti mengembangkan potensi di sempadan sungai, sempadan rel kereta, tanah negara atau di kebun binatang,” ujar dia.

Hasil pengamatan jurnalis sarklewer.com menemukan potensi pengembangan RTH Publik yang bisa dikembangkan yakni di jalur kota seluas 214,55 Ha, Sempadan sungai seluas 77,61 Ha, sempadan bantaran rel kereta 73 Ha, RTH tanah negara seluas 77,23 Ha dan pemperluas RTH di Kebun Binatang 21,10 Ha (Tim Indept-Reporting/Eddy J Soetopo)

Previous Melacak Bekas Gedung Bioskop di Solo
Next Kedipan ‘Lampu’ Gen dalam Struktur Molekul DNA

No Comment

Leave a reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *