Inilah satu-satunya walikota Surakarta yang berasal dari partai politik, sebelum masa reformasi diterapkan pemilihan umum secara terbuka. Sebagai anggota DPRD yang dicalonkan Partai Komunis Indonesia (PKI), Oetomo Ramelan, menjabat sebagai walikota lantaran ditunjuk anggota wakil rakyat daerah untuk menduduki jabatan sebagai walikota Surakarta. Keterlibatannya secara langsung sebagai anggota G-30-S PKI, Oetomo Ramelan diberhentikan sementara sebagai walikota, dan pada akhirnya diberhentikan, tidak hormat, secara tetap sebagai walikota Surakarta pada 10-11-1965. Tidak banyak refrensi tentang kiprah Oetomo Ramelan sebagai walikota Solo yang dapat terlacak di pelbagai daftar refrensi kepustakaan di daerah maupun nasional.
Ketakutan memiliki buku-buku dan refrensi pustaka mengenai pergolakan partai komunis di Kota Solo maupun di tingkat pusat, menjadikan tidak banyak ditemui refrensi tentang Oetomo Ramelan. Bahkan, menyimpan gambar photonya pun, meskipun dirinya pernah menjabat sebagai walikota, dihilangkan gambar sebenarnya sebagai walikota. Sungguh menyedihkan. Mestinya, gambar dirinya tetap ditampilkan di dalam bingkai pigura yang dipajang di Balai Kota, maupun di gantung piguranya di perpustakaan daerah. Tanpa perlu ketakutan, bahwa pemerintah maupun ruang di perpustakaan akan dilebeli atau dicap sebagai tata pemerintahan yang menganut partai politik komunis Indonesia. Toh PKI kenyataannya Oetomo Ramelan sudah tidak menjabat sebagai walikota dan pemerintah taklagi dipimpin regim berhaluan komunis

Nama mantan walikota acap ditulis dengan menggunakan ejaan republic, sehingga penulisannya menjadi Oetomo Ramelan, meski dalam sandi dikalangan sendiri sering disebut Hutomo Ramelan, menjabat dari tanggal 17 Februari 1958 hingga 23 Oktober 1965. Hingga kini tidak banyak yang mengetahui vonis hukuman mati yang dijatuhkan oleh Mahmilub pada 27 Juni 1967 entah kemungkinan besar menjalani hukuman tersebut atau tidak, tak ada refrensi tentang hal itu. Oetomo Ramelan lahir di Sragen 9 Januari 1919, dari wedana polisi Raden Ramelan di polisi Surakarta. Salah satu saudaranya merupakan Duta Besar Indonesia untuk Australia; sedang adiknya, Raden Roro Oetami, adalah istri dari Laksamana Udara Soerjadi Soerjadarma, mantan Kepala Staf TNI Angkatan Udara (KSAU) pertama. Saudara yang lain yakni Oetoro dan Oetarjo.
Oetomo Ramelan menjalani Pendidikan dasarnya di ELS Surakarta, melanjutkan di MULO, sebelum terakhir sekolah dirinya melompat lanjut ke AMS bagian A (Sastra) di Yogyakarta pada 1939, kemudian mengikuti ujian masuk Rechtshogeschool te Batavia (RHS) hingga dapat menempuh Pendidikan tingginya di sekolahan tersebut. Perlu diketahui Oetomo Ramelan bekerja saat pendudukan Jepang merangsek Indonesia menjadi pegawai di Pengadilan Kepolisian (軽罪法院, keizaihōin, Kunrei-shiki: Keizai Hooin) di Jatinegara. Kemudian dirinya mengikuti ujian Sekolah Pegawai Kehakiman (司法監理養成所, shihōkanriyōseishō, Kunrei-shiki: sihookanri yooseizyo) yang berlokasi di Salemba (sekarang Kampus Pascasarjana dan Doktoral Unhan) dan dinyatakan lulus pada 23 Maret 1944. Pada 1945, Oetomo menjadi jaksa di Pengadilan Negeri Surakarta. Di sisi lain, ia juga melibatkan diri dalam gerakan bawah tanah melawan Jepang.

Pasca kemerdekaan, pada 1947, dirinya menjadi sekretaris untuk Wikana, Gubernur Militer Surakarta saat itu. Selain menjadi pimpinan redaksi harian Ibu Kota dan terlibat dalam konflik antara Front Demokrasi Rakyat (FDR) dengan pemerintah pusat dan memilih berpihak pada FDR. Mulai tahun 1950, Oetomo bekerja sebagai guru di SMA Negeri Surakarta (kini menjadi SMA 1 Surakarta) hingga tahun 1957.
Oetomo Ramelan bergabung dengan Partai Komunis Indonesia dan menjadi calon anggota Dewan Konstituante pada pemilihan umum tahun 1955 di Jawa Tengah. Dirinya terpilih sebagai anggota Konstituante dan mulai bertugas sejak 9 November 1956 hingga pembubarannya pada 5 Juli 1959. Selain itu Oetoma Ramelan juga duduk sebagai anggota di DPRD Kota Surakarta, mewakili Partai Komunis Indonesia (PKI); selain menjadi guru, politikus juga pelukis yang aktif di Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) cabang Surakarta. Dalam Kongres Nasional Ke-I Lekra pada 24-31 Januari 1958, Oetomo Ramelan diangkat menjadi anggota pimpinan pusat.
Walikota Surakarta
Pada pemilihan legislative daerah tahun 1957 Oetomo Ramelan berhasil memenanangkan partai yang diikutinya PKI sebanyak 17 kursi dari total 30 kursi di DPRD Kota Surakarta. Setelah itu dirinya mencalonkan sebagai walikota untuk menggantikan Muhammad Saleh Werdisastro, seorang simpatisan Muhammadiyah. Dalam pemilihan pada sidang DPRD yang diadakan pada 23 Januari 1958, menjadi pimpinan lembaga wakil rakyat itu. Pada masa kepemimpinannya, kekuatan PKI semakin berkembang di pedesaan dan kampung, yang berada di dalam maupun di sekitar Kota Surakarta.
Pada 1959, Lekra memutuskan untuk mengadakan kongres nasionalnya yang pertama pada 24-31 Januari di Surakarta. Salah satu faktor utama terpilihnya Surakarta sebagai tempat penyelenggaraan kongres adalah dominasi PKI di kota tersebut, baik di tubuh eksekutif maupun parlemennya. Menurut beberapa refrensi, Oetomo Ramelan tidak pernah melakukan Tindakan atau mengeluarkan kebijakan yang radikal. Partainya lebih sibuk mengadakan usaha-usaha social, memperbaiki kondisi jalan dan nasib kaum miskin, serta mencari dukungan dari kalangan pegawai negeri. Penyitaan harta terhadap kaum kaya juga tidak pernah dilakukan.

Para saudagar batik di Laweyan tetap menjadi kekuatan yang disegani di kota tersebut. Bahkan, Oetomo sendiri menyatakan tidak keberatan jika Indonesia menerima pinjaman dari Amerika Serikat, asal tidak dibarengi dengan bantuan militer. Pada 1961, Oetomo membentuk sebuah Kawasan lokalisasi untuk para pekerja seks di wilayah Silir. Hal itu dilakukan untuk memudahkan control pemerintah terhadap para pekerja seks dan memastikan proses rehabilitasi mereka dapat berjalan dengan biak. Mereka diberi suntikan penisilin, kursus kerajinan dan budi pekerti, serta diwajibkan untuk menabung di bank.
Selain itu, pada 1962, Oetomo mendapat penghargaan karena berhasil mengentaskan buta huruf di Kota Solo. Di tahun yang sama, ia ditunjuk menjadi ketua pengurus harian Front Nasional (FN) cabang Kotapraja Surakarta dan Komandan Hansip (Dan Hansip) Kotapraja Surakarta. Pada akhir Maret 1962, Oetomo membentuk Komando Anti Lapar Kotapraja Surakarta guna mengatasi masalah kelaparan di kota tersebut.
Di tahun 1963, ia menginisiasi pendirian Universitas Kotapradja Surakarta (UKPS) yang bersifat swasta.[ Perguruan tinggi ini sangat dipengaruhi oleh PKI, di mana setengah dari anggota organisasi kemahasiswaan didominasi oleh kader Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI). Selain itu, UKPS juga menjadi pusat studi sosialisme di kota tersebut, dan karenanya dibubarkan pada masa Orde Baru. Pada 20 Februari 1964, lima perkumpulan orkes berinisiatif untuk membentuk Himpunan Organisasi Musik Indonesia (HOMI) dengan tujuan meningkatkan mutu musik dan memastikan bahwa musik yang ada di Indonesia sesuai dengan haluan negara pada saat itu. Oetomo, selaku wali kota sekaligus seniman, bertindak sebagai pelindungnya.
Pasca Gerakan 30 September
Saat peristiwa Gerakan 30 September, PKI sebagai partai tidak memobilisasi penduduk Surakarta untuk berdemonstrasi di jalanan mendukung gerakan tersebut. Satu-satunya tindakan yang dilakukan oleh partai adalah mengeluarkan pernyataan dukungan melalui siaran radio yang dilakukan oleh Oetomo pada pukul enam sore. Tidak banyak yang terjadi di Surakarta setelah itu, sebab Dewan Revolusi yang dipimpin oleh Mayor Iskandar memutuskan untuk membubarkan diri dan melepas para perwira yang disandera pada 3 Oktober setelah menyadari bahwa gerakan di Jakarta telah gagal dan mereka tidak lagi mendapat perintah dari Biro Khusus.
Baru pada 22 Oktober, ketika pasukan RPKAD tiba di Surakarta, kondisi berubah drastis. Pihak tentara mengambil alih pemerintahan dan keesokan harinya, Oetomo ditangkap oleh tentara. Ia digantikan sementara oleh Letnan Kolonel Th. J. Soemantha. Ia lalu ditahan di Kesatrian RPKAD di Kandang Menjangan (berada di wilayah Kabupaten Sukoharjo), sebelum dipindah ke LP Surakarta. Oetomo kemudian menjalani sidang mulai 5 Juni 1967 dan dinyatakan bersalah oleh Mahmilub pada 22 Juni 1967. Mahmilub menjatuhkan vonis hukuman mati padanya.
No Comment