Jejak Perjuangan di Masa lalu Koran Sin Po dan Haluannya


Inilah koran berbahasa Melayu yang berani terbit saat Hindia-Belanda, masih bercokol di bumi nusantara-Indonesia pada 1910: Sin Po. Meski berformat sangat sederhana, namun terbitan koran minggu, menjadi bacaan hamper semua orang pengemar baca. Jauh dari kategori mewah, Sin Po yang dimotori Lauw Giok Kan, sebagai redaktur dan sekaligus merangkap salah satu organisasi THHK Jakarta, menjadi incaran polisi belanda maupun jepang saat berkuasa.

Hampir semua pengarang –peliput berita dengan motif bertutur cerita—merupakan alumni dan donator Sekolah Tionghoa dan pengajar bahasa Melayu-Tioinghoa pada anak-anak di wilayah Glodog, Pacenongan dan Pintu Besar Jakarta. Selain menyebarkan kebudayaan Tionghoa para punggawa Sin Po juga mengabarkan hal-hal penting penunjang pramerdeka melalui bahasa Melayu. Tidaklah mengherankan, bila media berformat, laiknya tabloid berukuran kecil nanpipih, lantaran tak banyak memuat halaman, Sin Po jadi rebutan dibaca

Pada awalnya, Sin Po dicetak menggunakan handpress yang menghasilkan koran sederhana itu, tentu selain diawasi polisi Londo dan Jepang –saat belanda keok digantikan Nippon di Batavia- acap mengalami perubahan format tampilan. Tentu buat menarik pembaca Sin Po juga menggelontorkan cerita-cerita bersambung bernuansa cerminan faham nasionalisme Tiongkok. Cerita Sampai Engtay dan kirab budaya barongsai pun menjadi trademark Sin Po sebagai koran menarik

Bisa jadi lantaran banyak pemasang advertorial, dimusim-musim ucapan tahun baru china, mingguan Sin Po, akhirnya pada tahun 1911 melebarkan usaha mencakup perniagaan dan percetakan, hingga mengubah mingguan menjadi harian. Meski format pemberitaan bukan hanya melulu cerita bersambung dan kebudayaan, Sin Po melaju dengan berita-berita ekonomi dan politik. Alhasil pemimpin redaksi di Harian Sin Pon dipimpin seorang Belanda ‘totok’ prokebebasan berpendapat.

Pemimpin redaksi Londo ‘Totok’ itulah yang melonggarkan pemberitaan advertorial, menerima pemasang iklan harian dhol-tinuku alias jual-beli peralatan dapur bolo-pecah, hingga mengiklankan speda onthel. Pada waktu itu, tulis Ang Yan Goan dalam memoarnya, sudah menjadi kebiasaan umum, koran Bahasa Melayu yang diterbitkan oleh orang Tionghoa selalu yang menjadi pemimpin redaksinya orang Belanda. “Karenakan hanya orang orang belanda mempunyai hak warga negara, sedangkan orang Tionghoa dan pribumi tidak.”

Bila terjadi perkara pengadilan, tutur dia dalam memoarnya, orang Belanda diadili oleh pengadian tinggi, sedangkan orang Tionghoa dan pribumi diadili oleh pengadilan rendah. Kedua level pengadilan mempunyai hakim yang beda dan dalam menjatuhkan keputusan pun kriterianya sangat beda jauh. “Suatu perkara yang sama, bila dipengadulan tinggi diputuskan bebas murni, sedangkan di pengadilan rendah hampir pasti akan dikenakan hukuman kurung badan beberapa bulan.”

Kondisi saat itu, bila terjadi perselesihan lantaran surat kabar Sin Po dinilai menyalahi aturan hukum undang-undang versi belanda, terlihat sekali perbedaan putusan pengadilan. Panjarapun juga dibagi du akelas, kelas atas khusus untuk orang Eropa atau orang yang dianggap sederajat dengan mereka; kelas bawah buat pribumi, orang Tionghoa dan bangsa jajahan lainnya. “Bisa dibayangkan perbedaan kondisi dan perlakuan dalam kedu macam penjara ini. Itulah sebabnya wartawan diharapkan hati-hati dalam menulis cerita.”

Pekerjaan pers orang Tioghoa karena pekerjaan sangat mudah terlibat perkara pengadilan, dengan sendirinya sangat menentang perlakuan tidak adil semacam ini, dan merasa bertanggung jawab untuk berjuang menghapuskannya. Tapi di tempat pemukiman orang Tionhoa, para Luitenant, Kapitein dan Majoor orang Tionghoa, dan para pembantu mereka, malah menganggap ketidak-adilan semacam ini sebagai hal lumrah. “Mereka berperan sebagai kaki-tangan pemerintah kolonial Belanda memerintah orang Tionghoa.”.

Para pejabat orang Tionghoa begini biasanya sangat kaya sekali, mereka sepenuh hati membantu pemerintah karena dengan jabatan ini mereka bisa mendapat banyak hak-hak khusus. Koran Sin Po berpendapat para pejabat orang Tionhoa hanya bermanfaat bagi pemerintah kolonial, dan merekalah yang mempertahankan ketidak-adiln tersebut. Sin Po berpendapat para pejabat orang Tionghoa hanya bermanfaat bagi pemerintah colonial dan merekalah yang mempertahankan ketidak-adilan tersebut. Sin Po sejak awal mula menentang system pengangkatan pejabat orang Tionghoa sepertini ini.

Kira-kira pertengahan Perang Dunia I, Belanda agaknya khawatir akan keselamatan Hindia Belanda, Belanda takut kedua kubu Eropa dalam pertempuran hidup mati mereka, jangan-jangan ada salah satu negara kuat yang bakal merebut tanah yang subur ini, biarpun kekhawatiran ini tidak terbukti nyata. Atas izin pemerintah, timbulah Gerakan membela Hindia Belanda, dengan tujuan membangkitkan sentiment kesetiaan terhadap Hindia Belanda, slogan mereka adalah “Hindia Belanda sanggup membela diri”.  Koran Sin Po secara terbuka menentang Gerakan ini.

Previous Berlayar 7 Tahun Mengeliling Jagad Tanpa Kehabisan BBM
Next Nyedhot Balung Tengkleng Biar Sehat dan Asyik

No Comment

Leave a reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *