Setidaknya di Kota Solo pernah mengalami pagebluk yang melanda negeri ini. Pada era 1950-1960an terjadi pandemi pes dan malaria, melantakkan kehidupan rakyat, Banyak warga meninggal, sayangnya jumlah korban pasti tak tercatat dalam pencatatan sejarah masalalu. Bisa diibaratkan ‘esok hari sakit, sorenya meninggal’ bukan pandangan sulit ditemui. Ingatan kolektif cerita rakyat yang pernah mengalami zaman itu menuturkan, setiap wabah penyakit datang, warga diminta menabuh tampah (anyaman bambu) dan membunyikan kentong, agar terhindar rodjopati: pagebluk! Dan cilakanya, saat itu, bangsa penjajah, Londo, belanda tak peduli. Justru Kota Solo dibelah menjadi dua pemerintahan kota, kasunanan dan mangkunegaran.
Beberapa warga masyarakat sepuh yang pernah mengalami zaman pagebluk kala itu, menyebut pemerintah daerah belum banyak berbuat sesuatu untuk menanggulangi kondisi rodjopati saat itu. Bukan hanya pemerintah daerah, tetapi juga pemerintah pusat di Jakarta, tidak berdaya mengerem laju pandemi yang semakin meluluh-lantakkan kehidupan rakyat usai menikmati kemerdekaan bangsa kala itu.

Catatan sejarah kelam ‘musim’ pagebluk bukan hanya wabah penyakit pes dan malaria yang mengobrak-abrik tatanan kehidupan seperti dijanjikan dalam preambule UUD-45 menikmati adil-makmur, tapi kenyataannya udreg-udregan perebutan kekuasaan politik diantara penggede pemerintahan kota Solo, terjadi. Bukan suatu hal yang mustahil bila, kondisi rakyat saat itu tak tersentuh walikota sebagai pemangku kebijakan.
Meski demikian masih ada pejabat walikota yang sangat peduli berusaha mengatasi pagebluk. Walikota pertama, Sindurejo misalnya, meskipun mejabat kurang dari setahun, masa jabatannya yang singkat itu dicurahkan mengatasi pagebluk yang terjadi. Dalam catatan Sinduredjo mengimbau agar warga hidup sehat, saat dia membuka klinik dan melakukan cacar malaria dilayani tenaga medis nondokter di wilayah Kedung Lumbu. Meskipun pada saat itu di Kota Solo, profesi dokter yang berpraktik sangat terbatas, toh layanan cacar dilakukan tenaga bidan atas persetujuan Moewardi[1], dokter yang juga politisi –note baru diketahui setelah membaca file sejarah pergerakan Moewardi juga seorang dokter dan politisi kota Solo.

Raden Tumenggung Sinduredjo, diangkat pada 19 Mei 1946–15 Juli 1946 oleh Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID) Kota Surakarta, atas penunjukan Bung Karno. Meskipun pelantikan Sinduredjo ditengah kisruh pertentangan antara pemerintah daerah Istimewa Kasunanan dengan Mangkunegaran, SK pengangkatan langsung sebagai walikota ditandatangani Presiden Soekarno. Ia menjabat sebagai walikota Surakarta 19 Mei 1946 dan berhenti sebagai walikota pada 15 Juli 1946. Kiprahnya dalam pemerintahan belum terlihat secara optimal memimpin Kota Solo, lantaran masih terjadi udreg-udregan diantara para laskar gerilya pemimpin kota juga menginginkan menjadi orang nomor satu di kota budaya.
Lengsernya Sinduredjo sebagai walikota seumur jagung, tongkat estafet pemerintahan kota Solo diserahkan pada Iskaq Tjokrohadisoerjo melalui perselisihan kubu-kubuan dalam kelompok partai politik di Balaikota. Selain menjabat sebagai walikota, Iskaq Tjokrohadisoerjo juga menjadi anggota DPRD Kota Besar Surakarta, sejalan dengan pendirian DPRD Kota Besar Surakarta 7 Agustus. Posisi Iskaq Tjokrohadisoerjo sebagai walikota dari tanggal 15 Juli 1946 sampai 14 November 1946.
Bila merujuk hasil pemilihan umum pertama, tahun 1956, menghasilkan anggota yang dipilih sebanyak 272 orang. Selain itu di tingkat pusat hasil pemilu juga memilih 542 orang sebagai anggota konstituante. Tugas maupun wewenang anggota DPR hasil pemilu 1956 memiliki kewenangan sebagai anggota DPRS dengan acuan pada landasan hukum pada UUDS. Ketimpangan tugas dan fungsi anggota DPRS, baik di tingkat pusat maupun di daerah menyebabkan terjadi dualism kebijakan kepemimpinan tingkat pemimpin daerah: walikota. Ketidakselarasan tugas dan fungsi kebijakan dengan peraturan perundangan diperparah dengan munculnya pengertian masih bercokolnya tiga kabinet[2] yakni Djuanda, Ali Sastroamidjojo dan Burhanuddin Harap dalam awal sistem demokratis ‘diberlakukan’.

Susunan tiga kabinet ditingkat pemerintahan pusat diduga menjadi salah satu faktor kisruh antarpengikut hingga ke tingkat daerah. Apalagi waktu itu massa rakyat menilai terjadi blok-blok dalam pemerintahan yang baru saja terlepas dari sistem pemerintah kerajaan. Itulah sebabnya, disinyalir munculnya gontok-gontokan rebutan massa hingga warga masyarakat, terutama di wilayah pusat kota Solo, terbelah. Sulit membuktikan, berada dimanakah rakyat kota Solo berada dalam suatu kubu diantara ketiganya. Bisa jadi pengikut blok Burhanuddin berseberangan dengan kabinet Ali Sastroamidjojo atau Djuanda komunitas berada. Bisa jadi munculnya penyekatan akibat tiga kabinet di tingkat pusat hingga merembet ke daerah, takpelak menjadi susunan cabinet saling curiga dan berusaha saling geser-mengeser jabatan. Walikota Solo bahkan terkena imbasnya. Walikota Sinduredjo, misalnya dicap sebagai penganut paham kabinet Ali Sastroamidjojo oleh pesaingnya yang ingin melengserkan kedudukannya sebagai walikota pertama di Kota Solo.
jumlah penduduk yang berhak memilih anggota DPRD Kota Besar Surakarta sekaligus menetapkan sebagai walikota tidak mencapai sepertiga jumlah keseluruhan warga kota Solo. Meski demikian, hasil pemilu pertama di negari ini dianggap dapat mewakili sebagai pemilihan demokratis dan diterima rakyat.
Banyaknya jumlah fraksi di DPR serta tidak adanya satu-dua partai yang kuat, telah memberi bayangan bahwa pemerintah merupakan hasil koalisi. Dalam masa ini terdapat 3 kabinet yaitu kabinet Burhanuddin Harahap, kabinet Ali Sastroamidjojo, dan kabinet Djuanda. Apalagi pada awal kemerdekaan, lembaga-lembaga negara yang diamanatkan UUD 1945 belum dibentuk. Sesuai acuan pasal 4 aturan peralihan dalam UUD 1945, dibentuklah Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Komite ini adalah bakal calon badan legislatif di Indonesia. Termasuk pembentukan DPRDS Kota Besar Surakarta dan mengangkat anggota terpilih

Masa Jaya Kerajaan
Awal kepindahan keraton Kartosura, pada 1745, ke desa Sala di tepi Bengawan Solo, tidak dapat dipisahkan dari berkobarnya pemberontakan Sunan Kuning dalam Gègèr Pacinan pada masa pemerintahan Sunan Pakubuwono II raja Kartasura tahun 1742. Akibat perang dengan melibatkan bantuan VOC, bangunan keraton hancur dan dianggap keraton Pajang tercemar.
Sunan Pakubuwona II memerintahkan Tumenggung Honggowongso alias Joko Sangrib atau Kentol Surawijaya dan Tumenggung Mangkuyudo dengan dibantu pasukan Belanda J.A.B van Hoherdorff untuk mencari lokasi ibukota-keraton yang baru. Keraton baru dibangun 20 km dari Kartasura pada 1745, di Desa Sala di tepi Bengawan Solo. Sebagai tetenger, namanya diwisuda menjadi “Surakarta”. Secara resmi keraton mulai ditempati pada 17 Februari 1745. Dalam perhitungan penanggalan Jawa, Wuku Landep, Windu Sancaya atau Rabu Pahing 14 Sura 1670.
Wilayah kekuasaan kerajaan Keraton Kasunanan Hadiningrat meliputi area seluruh Karisidenan Surakarta dari arah barat hingga ke timur, utara dan selatan kota. Di wilayah tengah kota Solo, berbagai fasilitas tempat berbelanja pasar dan stasiun juga dibangun untuk menunjang derap perekonomian yang bertumpu pada perdagangan sayur-mayur datang dari pedagang pinggiran wilayah kota. Sedang di bidang industri para pedagang kain maupun batik diperdagangkan di pasar Slompretan dari saudagar Lawiyan. Bisa dikatakan derap laju perekonomian sejak kerajaan telah berjalan dengan baik, meskipun perlahan.

Belanda marah Solo dibelah
Tampaknya politik belah bambu dalam terminologi devide at impera tak disadari oleh para penguasa kerajaan. Apalagi setelah penguasa kerajaan PB II mensepakati wilayah kekuasaan Keraton Kasunanan dipreteli Belanda dan dibelah menjadi dua wilayah yakni Keraton Mangkunegaran. Pamor kerajaan mulai memudar setelah PB X wawat. Bukan hanya keraton kasunanan pamornya memudar tetapi juga Keraton Mangkunegaran pun surut seusai KGPA Manungkunegoro IV, Sambernyowo tilar donyo. Meski saat ini tradisi adiluhun tari di dua keraton tetap dipertahankan pentas dan diuri-uri, namun tak urung kedua tari dari dua keraton dipentaskan pada waktu-waktu tertentu dan untuk kalangan terbatas di dalam dan kerabat keraton.
Pemerintah kolonial Belanda tidak hanya membelah wilayah kota Solo menjadi dua, tetapi juga menempatkan komonitas sejenis ke pelbagai wilayah. Warga keturunan Arab dipilah menempati daerah Pasar Kliwon, sedangkan komonitas Thiongwa berada di area Balong, Jogosuran. Selebihnya warga masyarakat lain diperbolehkan menempati wilayah di luar dua tempat tersebut. Bisa jadi penempatan tataruang hunian komunitas (warga masyarakat) dalam segregasi warisan kolonial Belanda[3], pihak keraton memilah berdasar aktivitas ekonomi menjadi alasan preferensi bermukim. Meski keberadaan penguasa dan pengusaha melalui jalur VOC saat itu, berpengaruh terhadap pengelolaan tatakota. Ditengah pertentangan antara pemerintah pusat dan daerah, mengenai daerah Istimewa Kasunanan dan Mangkunegaran, Raden Tumenggung Sindoeredjo diangkat pada 19 Mei 1946 oleh Komita Nasional Indonesia Daerah Kota Surakarta, menjadi residen Kota Solo. Pada 15 Juli 1946 RT Sindoeredjo kabinet pemerintahan kota besar jatuh akibat kisruh internal antarlaskar dalam kubu pemerintahan.

[1] wawancara mantan mantri suntik dilakukan pada tahun 1980
[2] Lihat Noer, D, “Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942’, LP3ES, Jakarta 1982
[3] Kusumastuti. 2016a. “Pengaruh Budaya dalam Pembentukan Ruang Kota Sala Sejak Perpindahan Kraton Sampai dengan Peletakan Motif Dasar Kolonial”, dalam Region, Vol. 1, No. 1.
No Comment