Siapa sangka salah satu makam yang terletak di wilayah pinggiran kota Solo, berada di samping kali berdiri pemakaman, mestinya merupakan distinasi keagamaan yang sakral berdiri masjid lawas. Tak banyak yang mengetahui bahwa sosok penyebar syiar agama Islam pertama kali di kota Solo itu makamnya berada di tempat ini. Ki Ageng Henis, putra Ki Ageng Pemanahan, dahulu merupakan guru mengaji dan sekaligus pembatik handal di pinggiran kota batik, kampung Laweyan. Di kampung itulah, Ki Ageng Henis mengajari warga kampung membaca-tulis huruf arab dan berdakwah ajaran Islam. Kala itu, sebelum keraton lawas yang dulunya berkedudukan di Pajang, sebelum berpindah di tengah kota Solo, di wilayah pinggiran kampung Lawiyan tersebut warga masyarakatnya memeluk agama Hindu.
Berdasar folklore –cerita dari mulut-ke-mulut– yang diyakini kebenarannya di daerah itulah pertama kali didirikan Masjid Laweyan pada tahun 1546, sebelum Masjid Agung Solo berdiri dengan megah pada 1763. Menurut juru kunci makam, Ardiyanto, 63, Ki Ageng Henis dinilai berjasa dalam menyebarkan dak’wah agama Islam di Kerajaan Pajang. Berdasarkan penelusuran crew media sarklewer.com ke berbagai sumber bacaan di perpustakaan, ternyata di makam itulah Ki Ageng Henis mengajari penduduk setempat mengaji dan memberi pelajaran baca-tulis kitab Alquran
“Menurut cerita nenek-moyang, dulu memang Ki Gede Henis dipandang berjasa oleh Sultan Hadiwijaya. Coba saja baca buku lawas babat Kartosuro, tapi pakai boso Jowo, mana bisa kalian,” ujar dia sembari tersenyum.
Tak dapat disangkal, Ki Ageng Henis diyakini sebagai salah satu cikal-bakal yang memulai babat alas keraton Pajang dan sekaligus menyebarkan da’wah agama Islam sebelum keraton berpindah ke desa Sala. Meski hingga kini tak terlacak dalam kitab apa yang menyebut dengan benderang perihal itu, kecuali folklore.
Menurut, arsitek pengajar di Universitas Tarumanegara, salah satu peziarah yang gemar melakukan penelitian bangunan kuno di Jawa, menyebutkan pemerintah perlu memperhatikan dengan serius situs peninggalan masa lalu. Tidak hanya di sekitar Kota Solo, tetapi juga di wilayah lain di Jogyakarta dan tempat-tempat lain.
“Bila pemerintah tidak memperhatikan bangunan lawas, bisa jadi bangunan lama akan rontok dimakan usia. Itu salah satu tugas utama pemerintah dalam menjaga warisan budaya yang juga sekaligus menjadi warisan dunia,” ujar Priatmodjo, “termasuk warisan berupa candi dan bangunan keraton.”
Meski bangunan di masa lalu dibangun berdasar cerita dari mulut ke mulut zaman kerajaan Pajang yang telah rontok, toh pada kenyataannya nama Ki Ageng Henis diyakini sebagai tonggak sejarah dunia perbatikan di Kota Solo. Konon kabarnya, ujar dia lebih lanjut, dalam sejarah masalalu Kerajaan Pajang, Ki Ageng Pemanahan, Ki Juru Martani dan Ki Panjawi dianggap paling berjasa pada sultan Pajang, Hadiwidjaja alias Jaka Tingkir.
“Ketiga ‘pendekar’ masing-masing dianugerahi tanah di Pati, Mataram dan tanah perdikan Lawean oleh Sultan Hadiwijaya,” katanya. Ki Panjawi dihibahi tanah di Pati, Ki Ageng Pamanahan diberi tanah Mataram, sedangkan Ki Ageng Henis dianugerahi tanah perdikan Laweyan. Lantaran ketiganya berhasil membunuh Arya Panangsang dari Jipang, musuh Sultan Hadiwijaya.”
Seperti disebut dalam teks sejarah, pada masa kesultanan Pajang, Kyai Ageng Henis mendapat tanah perdikan di Laweyan oleh Sultan Hadiwidjaja dan memperoleh jabatan sebagai adipati. Rasanya tepat bila dikatakan, sejak dari dahulu memang pemerintah terutama para pejabat yang mengelola dinas kebudayaan, abai terhadap peninggalan sejarah masalalu. Apalagi bila dikaitkan dengan nilai kesakralan agama Islam, lihatlah betapa muramnya tempat distinasi wisata sebuah bangunan masjid di Lawiyan. Tidak elok rasanya bila jelang peringatan maulid nabi, tak satupun para pejabat menyambangi masjid Lawiyan menata area agar tak terlihat kumuh.
No Comment