Kho Ping Hoo


Sosok Kho Ping Hoo Tak Bisa Dianggap Remeh

Ketika negeri ini masih belum tercemar industry perfilman memakai cakram digital, buku komik berupa cersil (cerita silat) menjadi primadona remaja lawasan tahun 1970-an. Bila Anda pengemar cersil, tentu masih terbayang antri di perpustakaan swasta menunggu pengembalian buku-buku laris seperti Bende Mataram, karya komikus cersil Herman Partikto, Api Di Bukit Menoreh karya SH Mintardja dan karya cerita lawas dunia persilatan bersetting kerajaan di Jawa.

Lain pengarang cersil Herman Partikto maupun SH Mintardja dengan background persoalan di tanah Jowo; lain pula yang digarap komikus bergenre masa pemerintahan di Tiongkok. Sebut saja dua nama terkenal seperti Kho Ping Ho dan Gan KL, jelas nuansa penuangan masa lalu sejarah keempat komikus cersil tersebut memiliki pengemar masing-masing.

Inilah Komik Cerita Silat (Cersil) Dijaman Lawas yang Banyak Dicari

Selain cerita silat yang terbit pada tahun 1970-1980-an tentu tak akan digemari Anak baru geblek jaman now yang cenderung lebih suka memilih baca novel roman di jaman milenial seperti sekarang. Jelas sangat berbeda 360 derajat, saking gak bisa ngebayangin, bagaimana mereka bila disuruh baca cersil atau novel-novel lawasan, jadinya muter-muter ruwet.

“Bagaimana tidak ruwet, kalau yang diceritain dalam cerita silat berbackground sejarah masalalu. Lha wong sewaktu cerita silat yang ditulis Herman Partikto, SH Mitardja maupun Kho Ping Ho dan Gan KL simboknya masih ingusan, gimana anaknya mau baca cersil lawas,” ujar Oentoeng, pengamat cerita silat lawas, “mereka jelas memilih ngebaca cerita porno di gadget sekalian lihat gambar sexy.”

Cersil karya-karya Kho Ping Hoo sarat dengan petuah filsafati

Padahal ujar Oentoeng menambahkan, cerita-cerita silat lawas, asal bukan cerita stensilan –pornografi– jelas isinya sangat mendidik penuh dengan petuah dan filsafati. Bandingkan dengan cerita-cerita yang ditulis para komikus dari Jepang tidak mengandung petuah jalan hidup. “Sangat encer dan tidak mendidik sama sekali buat remaja sekarang. Jadinya yach itu tadi, anak kebacut geblek dijejalin persoalan kekinian yang terkadang membuai ke dunia tidak masuk akal,” ujar dia.

Berbeda dengan komik cersil karya Kho Ping Hoo, meski peranakan Tionghoa tulisan cerita silat yang ditulisnya sebanyak 120 selama 30-an tahun, jelas mengagumkan. Bisa dibyangkan, kalau setiap jilid dibaca 25 orang saja, kira-kira setiap edisinya dibaca 1.6 juta orang. Itu dulu. “Kalau sekarang, dunia perkomikan lebih banyak dibanjiri cerita-cerita dari Jepang. Lagi pula cara ngebacanya dibalik, dari belakang ke belakang’kan jadi aneh. Tapi emang digemari anak-anak sih,” kata dia.

Ditemui terpisah, pemerhati seni di Balai Soedjatmoko, Yunanto, merasa heran bila saat ini Indonesia justru dibanjiri cerita-cerita komik dari luar. Tidak hanya cerita komik, tapi juga terjemahan karya penulis lain dari negara lain digandrungi pembaca. Mayoritas, tutur dia, novel maupun komix dari luar negeri yang diterjemahkan disukai remaja.

“Memang secara fisik komik sekarang lebih menarik bentuk fisiknya. Kalau cerita-cerita silat lawas, selain harus dibaca serius, juga bentuknya tidak menarik,” katanya, “berbeda dengan komik dari negara lain. Meski ceritanya sangat encer.”

Menurut Junanto, peran Kho Ping Hoo pada waktu itu, bisa dibilang sangat membantu memberi alternatif bacaan cerita silat. Tentu cerita silat yang ditulis Kho Ping Hoo berlatar belakang kehidupan dunia persilatan di daratan Tiongkok, tapi masih sangat relevan.

Latar kejadian Cersil Kho Ping Hoo, juga digambarkan di tanah Jawa

“Paling tidak bisa jadi alternatif bacaan cerita silat lain yang ditulis SH Mintardjo yang mengambil setting kerajaan di tanah Jawa. Apapun bentuk cerita, terutama cerisil memiliki arti penting di hati pembaca di Indonesia. Terutama pembaca keturunan Tiongwa yang di besarkan di jaman rezim Soeharto

Karya Kho Ping Hoo, terutama cersil nya, mempunyai arti penting di hati para pembaca di Indonesia. Terutama keturunan Tionghoa yang di besarkan di rejim Soeharto, yang waktu itu pengajaran bahasa Tionghoa dan Mandarin dilarang di negeri ini,” katanya

Gaya penulisan Kho Ping Hoo, menurut Junanto, memberi inspirasi bagi penulis cerita silat masa kini, seperti Fary Oroh dalam karya Pendekar Negeri Minahasa. Bahkan karya Khabeh berjudul Bu Kek Kang Sinkang, jelas mengambil nama tokoh-tokoh yang dikagumi dalam cerita silat Kho Ping Hoo.

Asmaraman Sukowati Kho Ping Hoo, lahir di Sragen, 17 Agustus 1926, penulis cerita silat yang sangat produktif. Selain cerita silat berlatar belakang kehidupan di Thioingkok, Kho Ping Hoo juga menghasilkan karya lepas satu topic selesai. Karya seperti Pecut Sakti Bajrakirana dan serial Badai Laut Selatan ditulisnya dengan latar belakang di masa Mataram Islam dan zaman Airlangga (eddy je soe/Thomas Desanto)

Previous Letter to President Jokowi on Beneficial Ownership Transparency
Next Salebriti Senang Lher Toket Saat Dipotret

No Comment

Leave a reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *